Nur Rokhanah
by on March 11, 2015
1,223 views
Surat Undangan Merah Jambu



Alam sunyi senyap. Langit mendung gelap pekat. Bintang yang biasanya bertaburan di langit seperti meises di atas roti, kini pun lenyap. Hanya sesekali terdengar suara binatang pengerat yang tengah asik menyantap hidangan makan malamnya.

Aku masih terdiam. Tenggelam dalam gelapnya malam. Aku tak juga mengerti pada hidupku sendiri. Semua berubah begitu cepat. Baru kusadari ternyata perputaran roda kehidupan lebih cepat dari gelombang cahaya. Ini sungguh membuatku pusing.

Masih teringat jelas dalam memori otakku tentang kisah kami. Masih terpahat jelas fase-fase kehidupan yang kualami bersama Kak Dito, guru lesku. Ketika kami belajar bersama, ketika kami makan siang bersama, ketika ia membisikkan kata-kata penyemangat di telingaku saat nilaiku di sekolah menurun, dan masih banyak yang lainnya. Semua masih terekam indah dalam ingatanku. Aku yakin dialah pahlawanku.

Kulihat lagi surat undangan merah jambu yang telah koyak dalam genggamanku. Kupikir sudah ribuan kali aku memandang surat itu dan sudah ribuan kali pula aku meremasnya.

“Dito Herlambang dan Silvia Syahriani”.

Hatiku remuk redam membaca nama yang tertera dalam undangan itu. Tanpa sadar ada air jernih yang mengalir lurus di pipiku. Aku tak kuat lagi. Kurasa kakiku pun tak mampu lagi menopang tubuhku. Tiba-tiba kepalaku pening, telingaku berdengung, dan semuanya gelap.

Fajar telah tiba. Suara adzan membangunkanku dari tidur panjangku. Saat ku membuka mata, aku telah terbaring di tempat tidurku. Aku tak tahu kenapa aku bisa terbaring di sini. Entah siapa yang membawaku ke kamarku.

Detik demi detik berlalu. Semakin pulih kesadaranku, semakin jelas pula keteringatanku pada masalah yang tengah menimpaku. Guru les yang telah menjadi semangat hidupku, yang telah mengambil cintaku, yang telah menjadi pahlawan dalam hidupku, dia telah menikahi wanita lain.

Aku tak kuat lagi menahan beban hidupku. Aku menagis lagi, meratapi nasib ditinggal pergi oleh pujaan hati. Tiba-tiba kulihat sebuah gunting di meja riasku. Tanpa pikir panjang, kuambil gunting itu. Dengan tangis dan cintaku untuk Kak Dito, kutusukkan gunting itu ke dalam perutku. Malangnya, belum sampai ujung gunting menembus perutku, ada sebuah tangan yang menahannya.

Sejurus kemudian tangan itu mendekapku, kemudian kudengar suara berbisik di telingaku.

“Jangan pernah melakukan ini lagi, Nak. Seberat apapun masalahmu, ibu akan selalu ada di sampingmu.”

Aku menangis dalam dekapan hangat ibuku. Aku tak mengerti apa yang baru saja kulakukan. Aku tak tau setan apa yang telah merasuki tubuhku hingga aku berani bertindak nekad. Aku menyesal telah bersikap seperti ini. Aku bersyukur ada ibu yang selalu ada di sampingku.

Hari ini cuaca sangat cerah. Tak ada segumpal awan pun yang berani mengotori indahnya langit hari ini. Hari ini juga ibu mengajakku jalan-jalan. Mungkin ibu ingin menghiburku meski aku belum cerita pada ibu tentang masalahku. Tapi itulah hebatnya ibu. Dia akan selalu tau ketika anaknya ada masalah meskipun kita belum mengatakannya pada ibu.

Dalam perjalanan, aku lebih banyak melamun. Aku masih teringat surat undangan itu. Sesekali kuseka air mataku dengan tissue. Entah sudah berapa bungkus tissue yang kuhabiskan dalam perjalanan. Sementara itu, ibu lebih banyak diam dan konsentrasi mengendarai mobil kami. Aku sama sekali tak peduli kemana ibu akan membawaku.

“Kenapa masih diam? Ayo turun, Na!” suara ibu mengagetkanku.

Aku tak menyadari ternyata mobil kami sudah berhenti. Sepertinya di depan sebuah panti asuhan. Aku tak mengerti kenapa ibu membawaku ke panti asuhan. Dan aku sama sekali tak peduli. Aku hanya turun dan mengikuti kemanapun langkah ibu.

Langkah kami terhenti di sebuah ruangan. Dalam ruangan itu terdapat banyak sekali anak-anak kecil. Mereka belajar sambil bercanda. Bahagia sekali rasanya melihat hidup mereka seolah tanpa beban.

“Mereka bukan tak punya masalah, Na. Tapi mereka selalu berusaha memecahkan masalahnya, bukan lari dari masalah.” Ibu menasehatiku seolah ibu mengerti apa yang ada dalam pikiranku tentang mereka.

Hari itu kami membagikan buku-buku dan makanan kepada anak-anak di panti asuhan. Mereka bahagia sekali menerima pemberian dari kami. Karena hanyut dalam sukacita, tak terasa hari sudah sore. Akhirnya kami pamit pulang.

Dalam perjalanan pulang, aku dan ibuku banyak bercerita tentang kenangan kami bersama anak-anak panti asuhan tadi.

“Ibu sayang kamu, Na.”
“Hana juga sayang ibu.”
“Hana janji ya jangan pernah melakukan hal yang nekad lagi. Ibu ngga ingin kehilangan kamu. Seberat apa pun masalahnya, ibu akan selalu ada untukmu.”
“Iya, Bu.”

Sejak hari itu, aku telah berubah. Hari-hariku kini penuh senyum semangat. Aku yang sekarang adalah aku yang hidup dengan tujuan yang jelas. Aku kini mulai berusaha kembali meraih prestasi meski tanpa Kak Dito dan aku bisa melakukannya. Aku bisa berprestasi dengan dukungan dan motivasi dari ibu. Dan aku yakin ibu adalah pahlawan hidupku. Terimakasih ibu.
Posted in: Cerita Fiksi
Be the first person to like this.